Selasa, 25 Agustus 2009

Kebun Markisa

pabrik yang terbengkalai. sisa-sisa kejayan markisa sulsel dimasa lalu


Menilik Komoditi Markisa Lokal
Identitas Sulsel Yang Mulai Punah

Bertanyalah apa oleh-oleh khas Sulsel. Maka salah satu yang banyak dicari pengunjung adalah markisa, buah lokal dengan cita rasa tersendiri.

Hari sudah siang. Pukul 14.00 wita matahari pun bersinar terang. Meski begitu, udara dingin terasa betul menyerang hingga ke tulang saat memasuki desa Tonasa salah satu desa di Kecamatan Tombolopao yang terkenal sebagai salah satu sentra penghasil Markisa Sulsel di Gowa.

Untuk mencapai desa ini tidaklah mudah. Jarak tempuh yang jauh sekira 70 km dari Sungguminasa Ibu Kota Kab Gowa, jalan yang kadang bergelombang, juga sulitnya menemukan transportasi umum. Tapi keinginan melihat langsung bagaimana kehidupan petani markisa dan tentu saja hamparan luas perkebunannya, membawa SI menyambangi desa yang hampir berbatasan dengan Kab Sinjai.

Agak sulit menemukan lokasi perkebunan yang dimaksud. Letaknya cukup tersembunyi. Dari poros jalan desa, mobil harus melewati jalan berbatu tak rata sepanjang satu kilometer yang hanya bisa dilalui satu mobil. Beruntung perjalanan kali ini ditemani Dg Ngiri' tur guide dari Sungguminasa yang asli Tombolopao.

Sayang ketika sampai di lokasi, kita hanya bisa menyaksikan sisa-sisa kejayaan produktivitas Markisa di awal tahun 1990an. Diatas lahan eks perkebunan seluas 50 ha hanya bisa dijumpai bangunan-bangunan kosong tak terurus yang dulunya digunakan sebagai pabrik olahan oleh PT Markisa Segar.

Tidak hanya itu, lahan perkebunan pun disulap menjadi perkebunan sayur seperti brokoli, labu, buncis, dan daun bawang. "Dulunya perkebunan markisa luas sampai jauh ke ke atas gunung sana,"tutur Sudding memulai cerita.

Menurut laki-laki paruh baya yang dulunya bekerja sebagai buruh harian di perkebunan ini, saat jayanya di tahun 1993, pabrik mampu menghasilkan jumlah produksi hingga 40 ton/hari yang hasilnya langsung dikirim ke Jakarta.

Tapi operasional pabrik hanya mampu bertahan 10 tahun. Produsen menilai kualitas produksi olahan pabrik menurun. Rasanya hambar dan tidak tahan lama. Akibatnya, hasil produksi itu tidak laku dan dikembalikan.

"Lara (hambar), kalau lama kacci (basi). Tidak tahu juga penyebabnya apa. Sekarang mungkin sudah lima tahun macetnya dan kita tanam sayur saja,"ungkapnya dalam bahasa Makassar fasih.

Seiring dengan pabrikan yang menjadi daya tumpu utama masyarakat telah gulung tikar, maka makin sulit juga menemukan perkebunan markisa rakyat yang tersisa. Apalagi nilai jual markisa yang ikut merosot tajam.

Menurut Irwan, salah seorang petani mengatakan, saat ini keuntungan bersih yang diperolehnya hanya Rp50 ribu per ha persekali panen dengan cost produksi Rp180 ribu. Itu pun untuk jangka 3 bulan. Bandingkan pada tahun 1997 misalnya dengan masa panen sekali sepekan hingga 300 kg dengan keuntungan Rp300 ribu per pekan.

"Sekarang ini kita jualnya di warung-warung dekat sini karena sulit transportasi ke Makassar dengan harga Rp100 per biji. Makanya tidak heran kalau masyarakat lebih memilih sayur. Hanya saja sayang kalau markisa lokal tidak dikembangkan lagi karena markisa dengan jenis ini hanya ada diisni,"ungkapnya.(herni amir)


jalan-jalan dikebunmarkisa, dapat dahan foto lagi

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com -Redesign by : ute - blognatugowa.blogspot.com