Kamis, 18 November 2010

Cenning rara, Alternatif Mendapatkan Jodoh??? (dimasanya)


(Tulisan ini lahir dari dialog silam dengan Seorang Sahabat Dosen Sastra Unhas empat tahun lalu)

Mencari pasangan hidup memang bukan perkara mudah. Kata orang, susah-susah gampang. Beragam taktik dimainkan- pun beragam cara dilakukan, untuk menemukan “dia” sang belahan jiwa. Satu diantaranya cenningrara, sebuah cara yang biasa ditempuh para gadis sejak lampau di tanah bugis.

Siapa yang ingin hidup melajang selamanya. Telat jodoh saja sudah membuat kegelisahan luar biasa, tidak saja pada yang bersangkutan tapi juga pada keluarga. Apalagi bagi sang perempuan, tidak seorang pun ingin dicap “lolobangko” atau perawan tua atau yang lebih menakutkan lagi menyandang predikat gadis seumur hidup.

Untuk itu, pembenahan diri dengan berusaha tampil paripurna kerap dilakukan. Bagi perempuan masa kini, spa dengan rangkaian perawatannya mungkin telah menjadi menu wajib. Sementara itu, bagi sebagian dara bugis, mereka telah mengantongi warisan leluhur yang diyakini dapat membuat penampilan lebih menarik dalam keseharian. Resep mujarab itu bernama “cenningrara”.

Dalam sejarahnya, cenningrara adalah prosesi untuk mengeluarkan aura dari dalam diri, sehingga telah menjadi sebuah kepercayaan bahwa dengan menggunakan cenningrara akan mendatangkan jodoh lebih mudah.

Cenningrara sendiri berasal dari kata cenning yang berarti manis dan cendra atau cendrara yang berarti bulan atau matahari yang pada hakekatnya adalah cahaya. Apalagi bulan dalam konteks kebudayaan Bugis merupakan puncak keindahan alam dan di alam. Maka, manis dari keduanya tak lain dimaktubkan untuk membuat diri dan penampilan kian bercahaya seperti bulan atau matahari bagi anak perawan. Cenning rara ini biasa dilakukan dengan media minyak kelapa yang ditanak, telur yang direbus, atau beras yang dijadikan bedak.

Dalam perjalanannya, cenningrara pun terkoptasi oleh nilai-nilai religi yang berkembang di masyarakat. Kuatnya pengaruh islam, menuai perubahan dalam dalam pengadaan media dan mantranya.

Dari perbincangan saya dengan seorang sahabat bernama Pammuda yang kini menjadi dosen Sastra Unhas , pada zaman pra-islam, seremonial untuk mendapatkan cenningrara bersifat lebih ekstrim. Karena dalam konteks kebudayaan bugis, bulan dianggap sebagai puncak keindahanalam dan dialam, maka bagi anak perawan yang berminat memperolehnya, cenningrara hanya dapat dilakukan pada saat gerhana bulan.

Menyediakan medianya pun tidak tanggung-tanggung, harus merupakan hasil curian sebagai prasyarat sebuah totalitas diri yang hanya menggunakan tubuh tanpa secuil kain melapisinya (baca telanjang)

Akan tetapi, ungkap Pammuda, karena barang yang dicuri semata hanya untukperuntukan cenningrara, maka pembelajaran mencuri dalam konteks cenningrara tidak ada. Motif pencurian ini hanya sekedar menjalankan misi pemujaan terhadap keindahan bukan motif ekonomi.

Lantas bagaimana dengan keadaan diri bebas terbuka tanpa sehelai benang? Pammuda menuturkan, bahwa dalam kerangka pemikiran fisik, dicobalah peniruan makro oleh mikro. Bulan dianggap sebagai mahkota alam. Ketika sang bulan menghilang, maka alam diperumpakan telanjang. Manusia sebagai mikro hendak meniru alam yang mencari rembulan tersebut, maka telanjanglah mereka. Kini dalam keadaan seperti itu, samalah dalam keadaan alam yang mencari.
Berdasarkan pada persepsi demikian, dalam keadaan mencari, maka ketika dengan niat tertentu mengambil (mencuri) barang-barang, diasumsikan mereka telah menemukan bulan yang siap memperindah dirinya dan itulah yang kemudian disebut cenningrara.

Sementara itu, perubahan paling mendasar dari prosesi ini setelah masuknya ajaran islam, dengan dihilangkannya syarat telanjang dan mencuri. Tapi jangan berlega hati dulu. Sebab kini, bagi si pencari cenningrara harus membawa seekor ayam putih atau ayam hitam kepada sanro (dukun) , disertai sejumlah uang dalam nominal tertentu. Bacaan yang melengkapi medianya pun ditambahkan dengan Fatimah putri Rasulullah SAW dan Barrakka La Ilaha Illaallah dengan arti semoga Allah mengabulkan. Sebuah pendeskripsian penyerahan diri seorang hamba kepada Tuhannya, bahwa segala usaha yang dilakukan penentuannya berpulang kembali kepada kuasa Tuhan.

Berikut petikan mantra yang biasa diapaki atau dibaca dengan menggunakan bedak. Bacaan ini diajikan sesaat sebelum bedak tersebut dipakai atau disapukan keseluruh permukaan wajah. Berikut kutipannya:

Bedda’na Fatimah u Wabedda,

U paenre ri rupakku

Namatappa pada uleng tepu

Barakka La Ilaha Illallah

Artnya;

Bedaknya Fatimah yang kupakai

Kupakai diwajahku

Dan bercahaya seperti bulan purnama

Semoga allah mengabulkan

Ini lah sekelumit tentang cenningrara. Berminat mencoba? Itu sebuah pilihan bebas. Tapi satu point, penyertaan Tuhan adalah hal terpenting yang tidak boleh terabaikan. Sebab sejatinya, keberhasilan akan mencapai tingkat kesempurnaan jika sebuah usaha dibarengi dengan ridho san Khalik, termasuk dalam hal cinta aksih. Bukankah Tuhan sang pemilik cinta? Semoga cinta anda kepada pasangan merupakan bentuk manifestasi cinta anda kepada Tuhan.



Makassar, 2006

Sabtu, 13 November 2010

Hari ini, aku tak menyukaimu Ibu

Hari ini aku tak menyukaimu Ibu....sudah jam 12 siang kau belum juga pulang dari rapat PKK. Keningku tak sempat kau kecup, apalagi menanyakan bagaimana kabarku hari ini di sekolah. Padahal aku ingin memberitahumu, nilai ulangan matematikaku 10 , bukan memberitahumu lagi- aku habis berkelahi dengan teman sekelas laki-lakiku..

Ibu..aku juga berhasil menghafal 20 surah juz amma. Hanya satu orang yang berhasil mengalahkan hafalanku hari ini. Tapi bagaimana kuceritakan kalau ibu tak ada.

Hari ini sebelum kau mengecup dan memelukku, aku ingin lihat senyum ibu. Bukan gelengan kepala, lalu mencubit pipiku gemas, karena kukatakan aku berhasil menonjok mata teman kelasku yang mulai genit.

Sudah satu jam aku menunggumu bu..., bolak balik, dari pintu rumah ke pintu pagar. Lalu menengok kiri dan kanan, berharap ibu muncul tiba-tiba . Seragam sekolah tidak aku ganti. Apalagi menyentuh makanan yang sudah tersaji di meja makan.

Ibu..aku menggerutu kesal pada ibu camat. Bulan agustus begini, ibu camat pasti mondar-mandir ke rumah kita. Dia seperti lalulintas tak bersahabat yang siap mengambil seluruh perhatianmu.

Ah..apa begini nasib anak yang memiliki ibu berwajah manis, pintar memasak, jago bulu tangkis, pintar main volli, juga jago menyanyi...

Ibu kakiku sudah pegal berdiri di pintu pagar. Kenapa ibu belum juga pulang. Tolong jangan terlalu lama diluar, disini aku merindukanmu..

(jadi ingat, setiap pulang sekolah bagiku adalah hal wajib ibu ada dirumah..u ibuku sayang, trimakasiu semuanya ibu...)

Selasa, 02 November 2010

F I K R I

di labirin mana kau menyimpan perih? Tak kutemukan air matamu sore itu. Bukan karena kau lelaki lantas tak boleh menangis. Bukankah Rasulullah juga lelaki yang paling sering menangis?

..berdiri - sepenggal langkah - lalu terjatuh. Berdiri - sepenggal langkah – lalu terjatuh lagi. Berulang dan berulang.

Jangankan berjalan, berdiri pun ternyata sulit. Begitulah dia, bocah empat tahun yang kukenal lewat perjumpaan sederhana.

Namanya Fikri. Pertama kali kutemukan duduk dibangku panjang dalam ruangan fisioterapi sebuah klinik. Mengalami kelainan tulang sejak lahir. Kedua kakinya bengkok.

Hampir separuh usianya dihabiskan di tempat ini. Boleh aku bertanya sekali lagi, di labirin mana kau menyimpan perih, hingga tak kutemukan air matamu sore itu...

Sayang...melihatmu seperti melihat halaman-halaman pada sebuah ensiklopedia bernama ketabahan, keberanian, perjuangan, dan, tentu saja harapan.

Usiamu boleh kecil. Tapi keadaan sudah memberimu pelajaran bahwa hidup tak selalu memberi kemudahan.

Nak.. aku suka semangatmu. Dengan doa, semoga kelak kita kembali berjumpa. Di musholla-ketika sholat magrib, dan kusaksikan kau berdiri sebagai imam.


Okt 2010, dari sebuah ruang fisioterapi

Hujan dan Kenangan

Hujan kembali turun sore ini. Meski malu-malu, butirannya terlihat jelas jatuh ke bumi. Aku diam menikmati milo hangat kesukaanku. Sepiring pisang goreng keju masih utuh belum tersentuh, tersaji di tengah meja terasku.

Aku suka hujan. Suka suaranya, suka harapan yang dibawanya. Hujan turun, pertanda rezki bagi bumi.

Dulu sewaktu kecil jika hujan datang, ku lewatkan dengan tawa, berlari, berputar, menari dan bernyanyi di pekarangan rumah. Dan ibu yang kerap berteriak memanggil namaku berulang, menyuruhku segera masuk. Aku tahu ibu selalu saja khawatir aku jatuh sakit sesudahnya.

Bisa ditebak, omelan kecil pasti mengalir dari bibir perempuan syurga itu. Lalu menyiapkan air hangat untuk kumandi kembali. Menggosok badanku dengan minyak kayu puith. Milo hangat dan sepiring pisang goreng pun akan kunikmati. Sama seperti sore ini.

Ah..Ibuku... Dalam hujan pun kasih sayangnya tetap hangat terasa

Ingatanku lalu beralih kepadamu. Sudah tiga kali hujan kita lewati bersama. Masih ingatkah kau sepenggal kenangan kita bersama hujan? tentang sepasang suami isteri diatas vespa tua, riang dalam lebatnya hujan di jalan Sudirman?

“Mungkin mereka sedang bernostalgia mengenang kemesraan masa muda dulu, sama saat umur kita nantinya seperti mereka, menggunakan motor ini,”katamu sambil tertawa.

Hujan terimakasih. Karena butiran bersama sesekali dentuman petirmu, mampu menahan langkah kami untuk pulang sore itu, menikmati sisa waktu sebelum magrib tiba dimana aku sudah harus ada di rumah.

Aku tahu, kau ikut tersenyum ketika kunikmati wajahnya dari sudut mataku, suaranya yang asih, dan sepasang matanya yang bercahaya. Dan kaupun tertawa saat mendapatinya mencuri pandang kepadaku. Lalu kami tersenyum bersama, dengan butiranmu yang perlahan melemah.

Hujan.. kau menyukainya ya..maaf aku tak dapat memenuhi janjiku kepadamu untuk terus bersamanya. Kini..kami bersepakat mengambil jalan berbeda.

makassar, 3 Sept 2010

Senin, 01 Februari 2010

JEMARI ISTRI

PEREMPUAN yang saya sebutkan ini entah istri siapa, ibu dari anak-anak siapa. Ia melompat gegas dari tempat tidur ketika masih pagi buta. Sepasang matanya masih berat untuk dibuka lantaran kantuk. Ia pun melakukan hal ini: membangunkan suami dan anak-anaknya untuk salat.

Usai salat ia berdoa agar keluarganya dilindungi, diberi curahan rahmat, kesehatan, kebaikan, kecukupan, dan anak-anak yang tumbuh dalam limpahan kasih-sayang, menjadi anak saleh, berbakti kepada orang tua, bangsa, negara, serta menegakkan agamanya.

Setelah itu sang suami biasanya melanjutkan tidur. Perempuan tadi melangkah ke dapur, menyiapkan sarapan, di sela waktu itu ia memandikan anaknya yang masih kecil, mendandani, mempersiapkan keperluan sekolah, dan seterusnya.

Terkadang ia mengantar anaknya ke sekolah, balik ke rumah, menyambut suaminya yang baru terbangun dengan senyum. Sang suami meraih koran diselingi sesekali menyeruput teh hangat.

Perempuan tadi melanjutkan rutinitasnya -- ke pekarangan menyiram kembang sembari memikirkan hidangan untuk anak-anaknya sebentar siang. Juga bersiap-siap berangkat ke tempat kerja.

Dari tempat kerja, pada jam istrirahat, perempuan itu menelepon, mengecek keadaan putra-putrinya yang sudah pulang sekolah, menanyakan satu-dua hal kemudian melanjutkan rutinitasnya.

Malam hari, kesibukannya tidak berkurang, bahkan ketika semua lampu di rumah sudah dipadamkan. Ia kembali mempersiapkan diri keesokan hari, menyetel jam weker, bersiap-siap untuk sejenak memejamkan mata.

Dalam kondisi seperti ini, seorang Greg Risberg dari North Western University Medical School di Chicago mewarning para suami: jangan memeluk istrimu! Istri kurang membutuhkannya. Perempuan akan merasa terabaikan dan tidak dihargai bila diperlakukan demikian. Kecuali ketika para suami telah memberi pelukan di waktu-waktu lain pada hari itu.

Tubuh seseorang, mendapatkan kekuatan berlipat bila direspon pelukan tulus pasangannya. Pelukan, menurut Risberg minimal dilakukan empat kali dalam sehari, dan kesehatan serta daya tahan tubuh akan bertambah.

Semangat sang istri akan berlipat bila ia mendapatkan pelukan yang benar-benar tulus, penuh kasih, tanpa kebohongan, sebagai bentuk penghargaan dari apa yang telah dilakukannya terhadap keluarga sepanjang hari. Pelukan sang istri juga sebagai bentuk dukungan dan rasa syukur terhadap apa yang dilakukan suami untuk keluarga.

Perempuan yang saya sebutkan ini, entah istri dan ibu dari anak-anak siapa, memaknai betul semua itu. Sungguh, yang menjadikan dunia ini menjadi sangat teratur berkat kelembutan jemari para istri. Perekonomian menjadi stabil lantaran ketelitian para istri mengatur ekonomi keluarga.

Saya teringat sebuah dialog yang cukup menyentuh. Entah itu saya pernah baca atau tonton. Lupa persisnya. Digambarkan sang suami mendekai istrinya yang frustrasi lantaran teramat letih, sembari berkata, “Ingatlah, Ma, kamu harus melipatgandakan kesabaran karena tangan yang mengayunkan tempat tidur bayilah yang menguasai dunia. Tangan yang membelai dan mengusap lembut kepala putra-putrinyalah yang mengatur dunia.”

Sang istri memejamkan mata, meraih tangan suaminya, mengecupnya, sembari berkata, “Pa, ambillah kekuasaan itu sejenak. Ayunkanlah tempat tidur itu. Cukup sejenak.”

Kamis, 28 Januari 2010

SURAT DARI IBU UNTUKMU

Untuk anakku tersayang.

Maafkan ibumu, Anakku.

Pada bulan keempat usia kandungan seorang ibu adalah saat yang mendebarkan. Karena saat itu adalah saat yang istimewa. Allah membuat sebuah perjanjian denganmu.

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami sedang lengah terhadap ini,” atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?” (al-A’raaf: 172-172)

Anakku ....

Pada saat kamu membuat perjanjian dengan Tuhanmu hati Ibu tidak bergidik sedikit pun. Tahu kenapa, Anakku? Karena Ibu belum tahu ayat-ayat Allah. Saat itu sholatpun Ibu baru belajar. Baru sekarang saat Ibu merenung, Ibu merasa bersalah dan berdosa. Kenapa pada saat usiamu yang masih dini, empat bulan di dalam rahim Ibu, saat kamu membuat perjanjian dengan Tuhanmu, Ibu tidak bisa ikut mendoakan dan membisikimu dengan ayat-ayat Allah.

Anakku ....

Bukankah anak yang dilahirkan itu bersama kefitrahannya. Dan apakah kamu menjadi anak seperti yang sekarang ini karena kesalahan orangtuamu, terutama ibumu ini?

Anakku ....

Inilah amanat yang paling berat. Sebenarnya kamu adalah calon manusia yang berhak mendapatkan pendidikan agama yang baik dan benar. Dan kamu adalah calon manusia yang berhak mengetahui kebenaran yang hakiki dari Allah. Anakku, tapi ibumu ini tidak mampu memberinya. Karena saat itu ibumu masih belajar beragama yang benar.

Anakku ...

Oleh karena itu, maafkanlah Ibu karena Ibu tidak bisa menyampaikan betapa agungnya arti sebuah kebenaran dan keimanan. Sebagaimana kebijaksanaan Lukman al-Hakim dalam mengajar anaknya. Maafkanlah ibumu jika dengan segala keterbatasan ilmu yang Ibu miliki tidak cukup untuk mengajarimu tentang ketangguhan iman dan keteguhan hati sebagaimana Fatimah al-Zahra mengajari anaknya.

Anakku ....

Maafkanlah ibumu ini, karena saat itu Ibu baru belajar menjadi seorang Ibu, dan juga sekaligus belajar menjadi seorang muslimah. Dan yang terpenting belajar menjadi hamba Allah yang baik. Sebagai Ibu, tidak banyak ilmu yang Ibu miliki, Ibu sangat menyadari itu. Sekedar ilmu fiqh tentang najis pada bayi saja Ibu tidak tahu. Ibu baru tahu satu hal, yaitu membaca basmalah saat hendak menyusuimu.

Anakku ....

Maafkanlah ibumu jika kamu jadi seperti sekarang ini. Tidak salah kalau kadang-kadang kamu melalaikan sholat. Tidak salah kalau kamu kadang-kadang tidak berpuasa dengan baik. Dan tidak salah kalau kamu tidak taat dan hormat pada Ibu.

Anakku ....

Maafkanlah Ibu yang telah melahirkanmu. Setiap kita, manusia memang tidak bisa memilih di rahim siapa akan dilahirkan. Mungkin, kalau bisa memilih tidak akan ada yang mau dilahirkan oleh seorang perempuan seperti ibumu ini. Anakku, kita tidak tahu akan terlahir dari perempuan sholehah seperti Maryam atau dari seorang perempuan yang nista sekalipun. Karena dari rahim siapa pun kita dilahirkan, Allah telah meletakkan fungsi fitrah itu secara sama.

Anakku ....

Oleh karena itu, semoga kamu tidak berkecil hati, tidak lemah keteguhan hati, tidak dangkal keimanannya kepada Allah, tetap cinta kepada Allah. Dan Ibu juga sangat berharap kamu tidak menyesal lahir dari perempuan seperti ibumu ini. Seorang Ibu yang dengan segala keterbatasannya dan tidak banyak mengajarimu ilmu. Maafkan Ibu, Anakku .....

Template by : kendhin x-template.blogspot.com -Redesign by : ute - blognatugowa.blogspot.com