Selasa, 27 Maret 2012

Katakan Tidak untuk Korupsi

PEMUTARAN FILM “KITA VERSUS KORUPSI”-
Wednesday, 29 February 2012
Apa jadinya bila korupsi sudah dianggap menjadi hak? Apa pula sebutannya bila kebenaran menjadi soal selera dan moralitas jadi pilihan individu? Boleh berbohong, boleh tidak jujur,asal tidak ketahuan,kemudian menjadi sebuah budaya.

Itulah korupsi. Ironisnya,meski beragam upaya dan wacana terus dilangsungkan untuk memerangi korupsi, praktik ini tetap berlangsung. Sebut saja praktik yang mewajibkan siswa membeli buku yang dikeluarkan pihak sekolah dengan harga jual yang lebih tinggi dari toko buku. Inilah sentilan moral yang coba diangkat film Psstt… Jangan Bilang Siapa-Siapa, yang menjadi salah satu dari empat film Kita versus Korupsi (KvsK) yang ditayangkan di Studio XXI Mal Panakkukang Makassar,kemarin.

Film dengan ide cerita milik Kurnia Ratna Yuliati, siswi SMA 18 Makassar, tersebut bertutur tentang persahabatan tiga sekawan pelajar SMA,Olla (Alexandra Natasha),Gita (Nasya Abigail),dan seorang temannya,(Siska Selvi Dawsen).Film karya sutradara Chairun Nissa bercerita tentang gaya hidup dan permisif terhadap praktik pemerasan di sekolah yang kemudian direkam seorang siswa,Gita.

Tak hanya praktik mark-up yang diperlihatkan film ini, tapi juga kelihaian menipu seorang anak kepada orang tuanya dengan melebihkan permintaan dana untuk setiap kebutuhan sekolah ataupun jajan demi meng-update gadget dan fashion.Sayang, keluarganya tidak ambil pusing karena ayahnya di kantor maupun ibunya di rumah terbiasa pula melakukan hal yang sama.

“Kami yakin film ini dapat menjadi media kampanye antikorupsi yang kreatif karena lebih menarik dan pesannya lebih mudah dicerna publik,” ungkap Doty dari KPK. Selain Psstt… Jangan Bilang Siapa-Siapa, film atas kerja sama Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Transparency International Indonesia (TII) tersebut juga menampilkan tiga film pendek lain dengan ide cerita berbeda.

Sementara film Aku Padamu karya sutradara Lasja F Susatyo mengisahkan tentang upaya sepasang kekasih untuk menikah di KUA.Karena tidak memiliki kartu keluarga,sang pemuda mencoba menyogok orang yang bekerja di KUA.Namun, pasangannya tidak setuju karena perbuatan tersebut dianggap sebagai “menyogok Tuhan”.●

HERNI AMIR
Makassar

Menyelami Budaya Kajang lewat Film

PEMUTARAN FILM DOKUMENTER PASANG RI KAJANG - Menyelami Budaya Kajang lewat Film

Monday, 20 February 2012
Dunia dan peradaban manusia boleh terus berubah.Namun kearifan nilai tradisi lokal yang diwariskan nenek moyang tidak mesti dilupakan.Bahkan, nilai tradisi tersebut terus dihidupi untuk menciptakan keseimbangan kehidupan.


Prinsip luhur kehidupan ini dianut oleh komunitas Kajang yang berdiam salah satu kawasan di wilayah Kabupaten Bulukumba. Kearifan budaya dan keunikan warga Kajang sudah dikenal luas hingga mancanegara.Salah pesan dari para leluhur komunitas Kajang adalah bagaimana manusia harus hidup berdampingan dengan alam sekitar.Hidup dengan bekerja keras dan menjaga harmonisasi dengan alam adalah salah satu ciri utama warga Kajang.

Kesederhanaan warga Kajang inilah yang direkam oleh mahasiswa ilmu Komunikasi Unhas melalui film dokumenter Pasang ri Kajang yang diputar di BaKTI,Jalan Dr Soetomo, Makassar,Jumat (17/2) malam. Melalui dokumenter berdurasi 36 menit ini, penonton bisa melihat dari dekat bagaimana warga Kajang melakukan aktivitas sehari-hari penuh dengan kearifan dan kesederhanaan.

Tak ada yang berlebihan. Semuanya dibuat sesuai dengan kebutuhan.Sehingga, segala sesuatu yang mencakup kehidupan sekitarnya,baik makanan,pakaian,kebun, sawah,maupun hal-hal yang berkaitan dengan rumah mereka semuanya serba sederhana.Tidak ada sesuatu pun yang berlebihan termasuk dalam pemanfaatan sumber daya alam. Pasang (pesan) inilah yang secara turun temurun dipegang oleh komunitas Kajang.

Bagi orang Kajang, dunia tempat berpijak hanyalah persinggahan menuju akhirat yang kekal. Untuk mencapai kekekalan itu hanya bisa dilakukan jika mereka menerapkan pola sederhana (tallasa kamasemase). Kesederhanaan lain dari suku ini tergambar secara simbolis melalui pakaian warna hitam yang dikenakan. Warna ini dimaksudkan agar dalam kehidupan manusia selalu mengingat kematian. “Hitam dilambangkan lahir dalam keadaan gelap dan meninggal dalam keadaan gelap,”ungkap Ilham Nur Bardiansyah,sutradara Pasang ri Kajang.

Menurut Ilham,film itu mencoba bertutur banyak tentang bagaimana warga Kajang hidup bermartabat dengan menjalin keselarasan dengan alam dan sesama manusia. Makadalam dokumenter ini,Ilham banyak menyuguhkan ritual-ritual suku Kajang yang mendukung pola komunitas ini. Sebut saja ritual andingingi yang bertujuan memberikan ketenangan dan terhindar dari hawa nafsu yang menyesatkan.

Atau, bagaimana masyarakat Kajang mengormati alam dengan menerapkan aturan pokok tak bisa menebang pohon di hutan,menebagng rotan,menangkap udang,dan membakar lebah. Bagi yang menebang satu pohon,maka wajib hukumnya untuk mengganti dengan tiga pohon. Bagi yang melanggar akan didenda Rp8 juta dan jika tidak mengakui kesalahan maka dilakukan ritual adat sehingga perut si bersalah akan membusuk yang membuat yang bersangkutan tak dapat mengelak lagi.

Menurut Ilham,Pasang ri Kajang memang film yang memuat pesan maupun wasiat turun temurun,aturan tidak tertulis yang mencakup keyakinan,aturan masyarakat, hingga ritual adat.Warga Kajang yakin bahwa asal-usul kehidupan dimulai di tanah yang mereka tinggali,yaitu possi tana (pusat bumi). Mereka berupaya mempertahankan budaya dengan resistensi mitologi.

Menurut Ilham,tema ini sengaja diangkat agar masyarakat luar kajang dapat mengetahui secara jelas dan tidak menganggap tabu sebuah budaya. Selama ini,kata dia, masyarakat cenderung skeptis terhadap suku asli Tana Toa tersebut. Kajang yang dikenal dengan komunitas Ammatoanya dianggap tertutup. Padahal jika mengenal lebih dalam,sesungguhnya Kajang adalah suku yang terbuka, ramah,dan bersahaja.

Sehingga siapapun dan dari mana pun yang tertarik,dapat berkunjung dan mempelajari budaya mereka. “Bisa dikatakan film ini menggambarkan budaya masyarakat kajang secara holistic atau menyeluruh, memaparkan budaya,tradisi lisan,hingga resistensi mitologi masyarakat Kajang,” ungkapnya. ● HERNI AMIR Makassar

Sitobo Lalang Lipa Pentas di Srilangka

Colombo International Theather Festival (CITF) 2012

Ketika jalan untuk menegakkan kehormatan tidak menemui titik temu, maka duel sampai mati menjadi jalan terakhir penyelesaian sengketa

Inilah inti cerita yang akan dipentaskan oleh Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni dan Budaya Talas yang mewakili Indonesia pada ajang Colombo International Theather Festival (CITF) 2012, di Kolombus, Sri Langka.

Cerita bertajuk Sitobo Lalang Lipa and The Other Stories diangkat dari prinsip masyarakat Sulawesi Selatan Siri’na Pacce yang kemudian di aplikasikan dalam hukum adat oleh masyarakat Bugis Makassar yakni sitobo lalang lipa (saling tikam di dalam sarung).

Dalam cerita berdurasi 40 menit ini, lipa dipersepsikan sebagi lini. Segala persoalan akan diselesaikan hanya dalam sarung, meski nyawa taruhannya. Akan tetapi sesudahnya, masing-masing pihak yang bertikai tidak boleh lagi menyimpan dendam dan menganggap perkara sudah selesai.

“secara harfiah memang ini duel di dalam sarung, tetapi secara filosofis ini adalah bentuk penyelesaian perkara yang dianut masyarakat bugis Makassar dulu,”ungkap Sutradara sekaligus penulis naskah Dhodil Kakilangit saat melakukan jumpa pers di Unismuh kemarin.

Cerita ini, berkisah tentang percintaan dua sejoli dengan perbedaan strata social. Tokoh utama dalam lakon ini adalah anak seorang Raja, Karaeng Saleng To Marubayya yang menjalin asmara dengan gadis dari golongan ata (pelayan) Rannu.

Konflik mulai terjadi ketika Rannu akhirnya hamil di luar nikah lalu Karaeng Saleng menolak untuk bertanggung jawab. Merasa dendam kakak lelaki Rannu, Kulle akhirnya memikat hati saudara perempuan Karaeng Saleng, Andi Basse sampai akhirnya mereka memutuskan untuk Silariang.

Dari kejadian-kejadian inilah, akhirnya konflik kian meruncing. Karena tidak ada titik temu, Karaeng saleng dan Kulle akhirnya menyelesaikan segala perselisihan dengan duel dalam sarung hingga salah satu pihak meregang nyawa.

Untuk memudahkan penononton mengikuti alur cerita, pentas ini kemudian dikemas dalam bentuk dance theater dengan lebih mengedepankan kekuatan gesture tubuh dan musik. Bentuk ini diyakini lebih mampu menyampaikan pesan kepada penonton.

“Penonton kita berasal dari berbagai Negara. Karena musik dan gerak tubuh adalah bahasa universal yang paling mudah dipahami, maka untuk pertunjukan Kolombo, kami mengubah dari bentuk realis theater menjadi dance theater,”katanya.

Selain Talas dari Unismuh sebagai wakil dari Indonesia, Colombo International Theather Festival juga akan dimeriahkan oleh 10 peserta lainnya yang berasal dari delapan Negara seperti Iran, Mumbai, Pakistan, India, Ustralia, Germany, Chennai, dan Pune.

“Ini tentu sebuah kebanggan bagi kami. Kami bisa ikut berpartisipasi setelah melewati kualifikasi oleh tim panitia yang diikuti 8o Negara peserta,”ungkap Pembina UKM Seni dan Budaya Talas Muh Thahir M.

Dan tidak hanya pementasan theater saja yang akan mereka lakukan selama di Colombo. Akan tetapi rombongan juga akan berpartisipasi penuh dalam Indonesian Day dengan tema South Sulawesi In Colombo dengan membawa kuliner khas Makassar Coto Makassar, Dange, Pallumara, Konro, Barongko, Pisang Epe, Pallubutung dan lain-lain.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com -Redesign by : ute - blognatugowa.blogspot.com